Sabtu, 17 Juli 2010

cerita romantis dan tragedi

PELANGI(HABIS)
Kutabur sejuta mimpi terhadap puluhan gadis yang selama ini menyanjungku karena aku jagoan basket. Kusematkan hati palsuku pada perempuan yang selalu memujaku karena aku juara kelas. Kutebarkan pesona untuk menjerat hati meraka yang selalu mengejarku karena kegantengan dan kekayaanku. Kupermainakan hati mereka setiap saat karena aku memang suka mempermainkan mereka. Kuperlakukan mereka seperti barang dan mainan yang bila bosan langsung kubuang. Aku yang selalu dikelilingi gadis-gadis jelita, tapi tak pernah perduli perasaan mereka.

Namun, sebelas bulan yang lalu semua kesombongan dan kepercayaan diriku hancur. Aku bagai masuk ke dunia kegelapan, terpuruk, terperosok. Aku rendah diri, menghabiskan hari-hari di kamar tidurku ditemani foto mama. Mengurung diri tak mau melihat dan bertemu dengan siapa pun, kecuali mbok Sum, wanita paruh baya yang sudah puluhan tahun setia mengabdi buat keluarga kami.

Awan hitam berarak di langit pekat. Sore mendung mengiringi kepergianku ke pusara mama. Hari itu, ibu tercintaku itu berulang tahun yang ke tiga puluh lima. Kuletakkan setangkai lili putih kesayangannya di atas kuburannya. Kutatap lekat-lekat tulisan diatas pusara itu. Kueja satu per satu kata demi kata yang tertera di sana. Ariani Margaretta.

Wanita yang melahirkan aku itu telah pergi menghadap Sang Pencipta selamanya dan takkan pernah kembali. Lima tahun aku telah kehilangan belaian kasihnya. Lima tahun aku telah kehilangan senyum lembutnya. Tatapan sayang wanita yang kupuja itu telah hilang. Hilang dengan membawa kepedihan dan luka di hatinya. Luka atas pengkhianatan papa.

Mama memaafkan semua perbuatan papa setelah seribu kali kata maaf terucap dari bibirnya, setelah seribu permohonan keluar dari mulutnya. Ya, mama memaafkan papa. Tapi aku yakin mama masih terluka. Pancaran matanya yang dulu bersinar itu redup. Meski bibirnya tersenyum aku tahu hatinya menangis.

Aku membenci papa atas perbuatannya pada wanita yang sangat kusayangi itu. Aku bahkan tak pernah menghormatinya sebagai seorang ayah. Aku benar-benar marah pada pria yang telah menyakiti mamaku. Membuatnya terluka, membuatnya menangis dalam diam. Kepedihan yang akhirnya merenggut mama dari sisiku. Aku membenci papa bahkan sampai sekarang.

Aku memang membencinya. Membenci darahnya yang mengalir dalam tubuhku. Membencinya menjadi ayahku. Membencinya sampai ke sumsum tulangku. Membencinya sampai ke ubun-ubun kepalaku. Namun sebesar apapun kebencianku padanya, kelakuannya yang pernah melukai hati mamaku menurun juga padaku. Ya, aku mengikuti jejaknya. Air cucuran jatuhnya ke pelimbahan juga, sepertinya pepatah itu nyata padaku.

Aku melakoni peran sebagai lelaki yang suka mempermainkan gadis-gadis. Aku yang mengkhianati kekasihku demi gadis lain. Aku yang sering berganti hati dari satu gadis ke gadis yang lain. Aku yang tak pernah merasa bersalah pada mereka. Aku yang berulang kali menyakiti dan melukai hati mereka. Aku tak pernah sadar kelakuanku ternyata lebih buruk dari papa. Kelakuan yang akhirnya melahirkan karma buatku.

Sore itu saat terkelam dalam hidupku. Sore yang telah menghancurkanku berkeping-keping. Persimpangan jalan itu menjadi tempat naasku. Sepeda motor Kawasaki kesayanganku tergelincir saat aku meluncur kencang membelah angin menuju rumah kekasih gelapku. Jalanan licin yang basah oleh guyuran hujan senja itu membuatku terpelanting jatuh ke aspal. Tragedi itu tak bisa kuelakkan. Kecelakaan tragis itu akhirnya membuatku lumpuh. Pasrah dan lemah tak berdaya di kursi roda.

Semua kesombongan dan petualanganku berakhir sudah. Aku yang dulu dipuja dan disanjung kini terkulai layu. Aku tak percaya diri dengan keadaanku. Aku tak mau bertemu siapa pun. Aku membenci semua orang dan juga diriku sendiri. Satu per satu teman, sahabat dan kekasihku menjauh karena sikapku itu. Hingga akhirnya mereka benar-benar pergi dari kehidupanku. Aku benar-benar terpuruk hingga berniat mengakhiri hidupku.

Senyum manis seorang gadis yang menyapa lembut Mbok Sum pagi itu, membuatku mengurungkan niat untuk menyusul mama. Senyum yang kemudian menemani hari-hariku, meski dari kejauhan. Senyum yang membangkitkan semangatku untuk terus belajar. Aku meneruskan sekolahku di rumah dengan sistem home schooling. Senyum yang selalu hadir bersama embun pagi. Senyum yang selalu menyapa anyelir yang sedang merekah. Senyum yang seriang kicau kepondang.

Gadis berseragam abu-abu yang selalu kutatap diam-diam dari pojok jendela setiap pagi saat berangkat sekolah. Gadis yang tak pernah tahu aku selalu mengimpikannya. Tak pernah tahu aku selalu merindukanya. Tak pernah tahu aku selalu mengaguminya. Tak pernah tahu aku mencintainya. Gadis yang bernyanyi riang saat pulang sekolah sepanjang jalan bukit bambu. Gadis yang tak pernah tahu ada sepasang mata yang selalu menatapnya. Dan dia memang tak akan pernah tahu.

Bila malam menjelang wajah dan senyumnya tak bisa kunikmati. Aku hanya bisa memandangi rembulan sebagai pengganti dirinya. Menatap sinar bintang-bintang dari kejauhan sebagai pengganti pandangan matanya yang berbinar. Bersembunyi di balik selimut dari dinginnya malam sebagai pengganti hangatnya senyum manisnya.

Aku ingin malam cepat berlalu dan pagi segera menyapa agar aku bisa memandanginya lagi. Dari tempatku duduk setiap hari dapat kusaksikan semua tingkahnya. Senyumnya yang menemaniku dari kejauhan. Melihat matanya yang berbinar terang membangkitkan semangat hidupku yang telah layu. Gadis ayu yang kupuja dan kucinta. Gadis yang menjerat hatiku. Membuatku merindukannya dalam diam. Mencintainya dalam diam.

PELANGI, nama yang kusematkan padanya. Nama yang kupilihkan untuknya. Karena ku tak pernah tahu namanya. Dia pelangiku. Pelangi yang hadir di langit jiwaku. Pelangi yang menghiasi lazuardi anganku. Pelangi yang hadir usai hujan badai hatiku. Pelangi yang mewarnai hari-hariku. Pelangi yang datang persis saat hatiku gundah. Saat hatiku lara. Saat hatiku hancur. Saat aku sunyi, sepi dan sendiri.

Pelangi itu tak pernah bisa kujangkau. Tak kan pernah bisa kugapai. Takkan pernah bisa kuraih. Takkan pernah. Dia hanya bisa kupandangi. Hanya bisa kutatap. Hanya bisa kukagumi. Dari Kejauhan!

Purnama demi purnama berlalu. Cintaku padanya semakin dalam. Aku tak kuat lagi hanya mengaguminya dari jauh. Tak sanggup lagi hanya mencintainya dalam diam. Aku ingin dia bukan hanya menemaniku dari kejauhan, bukan hanya menemaniku dalam mimpi.

Tadi siang, Mbok Sum memberiku jalan keluar supaya aku tak rendah diri jika suatu saat bertemu dengannya. Dia menyarankan aku ikut terapi agar bisa berjalan lagi. Perempaun asal Purwakarta yang sudah ikut kami sejak aku belum lahir itu pernah mendengar dokter mengatakan pada papaku kalau aku masih punya harapan untuk bisa berjalan kembali. Semangatku kembali menggelora. Aku bertekad untuk melakukan terapi itu.

Aku pun menemui dokter untuk konsultasi. Untuk pertama kalinya setelah sekian bulan aku keluar dari rumah mewah di kaki bukit itu. Sepanjang perjalanan aku bisa menghirup udara segar menuju klinik dokter pribadi keluarga kami. Di sana, aku berteriak kegirangan saat mendengar kata-katanya, kalau dengan terapi aku bisa berjalan kembali. Aku menjadi tak sabar dan bersemangat untuk cepat-cepat mulai terapi. Keinginanku hanya satu bila bisa berjalan lagi. Menemui pelangiku.

Hari ini aku akan menjalani terapi untuk pertama kalinya. Di dalam kamarku aku bersiul gembira. Di luar langit mendung menyelimuti. Angin berhembus kencang membuat daun-daun seroja di tikungan jalan di depan rumahku berguguran. Burung gereja berterbangan di angkasa. Sekumpulan bocah berlari ke sana kemari. Riang tertawa bahagia.

Angin makin berhembus kencang. Gumpalan awan juga makin pekat. Entah mengapa hatiku tiba-tiba diliputi keresahan. Ada perasaan lain yang menggantung di kalbuku. Aku gelisah, sambil terus memandang keluar jendela. Menanti sosok pelangiku yang akan berangkat ke sekolah. Aku harus melihatnya dulu sebelum pergi untuk terapi.

Yang kutunggu akhirnya muncul juga. Tapi aku melihat pelangiku tak seperti biasanya. Dia nampak murung. Matanya sayu. Senyumnya terkatup. Raut wajahnya kusam. Ada apa dengan Pelangiku. Sedang gundahkah dia? Sedang bingungkah dia? Sedang ada masalahkah dia? Sedang bersedihkan dia? Sedang terlukakah dia? Ada apa dengan pelangiku.

Pagi itu aku kehilangan senyumnya. Senyum yang selama ini menemani hari-hariku. Senyum yang menyejukkan kalbuku, senyum yang membuatku nyaman dan tentram. Aku kehilangan tawa renyahnya. Tawa yang menghiburku, tawa yang membuatku bahagia. Aku kehilangan keramahannya. Aku kehilangan candanya. Aku kehilangan mata berbinarnya. Aku kehilangan rona pipinya. Aku kehilangan raut bahagianya.

Andai aku punya keberanian, andai aku punya kekuatan, andai aku tak rendah diri, andai aku tak cacat seperti ini, tentu akan kuhampiri dia. Kupeluk erat tubuhnya, kudekap dan kurengkuh dia. Kuhibur hatinya dengan candaku. Kubelai lembut rambutnya. Kucium hangat pipinya. Kuhapus bening air matanya. Kutemani hari kelabunya.

Akan kuteriakkan kata cinta sekerasnya agar seisi bumi tahu kalau selama ini aku menyukainya. Akan kubisikkan ditelinganya kalau selama ini aku sayang padanya. Akan kugenggam erat tangannya agar dia tak lepas dariku. Akan kusimpan hatinya dihatiku. Jiwanya dijiwaku. Raganya diragaku. Nafasnya dinafasku.

Andai saja aku bisa bertemu dengannya sekali saja. Ya, sekali saja, walau hanya sedetik aku ingin mengatakan betapa aku mencintainyanya. Betapa sayangnya aku padanya. Betapa inginnya aku menghabiskan hari-hari bersamanya. Oh, andai saja aku punya kesempatan itu. Tapi semua telah usai. Semua telah terlambat. Semua berakhir. Takkan pernah aku mendapatkan kesempatan itu.

Aku kehilangan dirinya. Aku tak melihat Pelangiku lagi. Itu hari terakhir aku menatapnya. Bahkah berminggu-minggu setelah itu. Aku tak pernah melihatnya dan tak pernah menemukanya. Kemanakah pelangiku?

Hari-hariku semakin sunyi. Impianku hancur berkeping. Harapanku musnah berantakan. Pelangiku telah hilang. Pergi membawa mimpiku bersamanya. Pergi membawa kenanganku bersamanya. Pergi membawa semangatku bersamanya. Pergi membawa harapanku bersamanya. Dan pergi membawa jiwaku bersamanya.
Diposkan oleh kaknyak di 23:32
Reaksi:

1 komentar:

  1. wah copas ceritaku niH...he..he..he.. tp gak apa2 dech.gimanapun makasih ya..maju terus and sukses slalu... (hiks..hiks...jadi sedih ingat cerita ini)

    BalasHapus